Selasa, 25 Juni 2013

Mengenal Desa Foramadiahi

Salah satu sudut perkampungan Foramadiahi,Foto oleh Ilwan
Desa Foramadiahi sudah mulai eksis sekitar tahun 1254. Foramadiahi disebut-sebut ahli sejarah sebagai perkampungan tertua di Ternate,keberadaan pemukiman ini ditandai dengan masuknya masyarakat yang berasal dari Jailolo yang melarikan diri dari kerajaan Jailolo ketika itu disebabkan oleh situasi politik lokal yang melibatkan sang Raja dengan rival kelompok-kelompok politik lokal. Mereka memilih mendiami daerah puncak jauh dari laut,agar tidak terjangkau oleh kejaran pasukan Raja Jailolo ketika itu. Pendapat lain mengatakan masyarakat yang mendiami perkampungan Foramadiahi berasal dari Tidore.
Menurut cerita dari beberapa orang tua,penamaan Foramadiahi bermula dari pembangunan kedaton (istana Raja). Kedaton pertama kali dibangun di perkampungan Foramadiahi,namun pembangunan kedaton belum definitive. Kedaton kemudian berpindah lokasi,mengingat desa Foramadiahi,berada di ketinggian dan tidak terdapat sumber air. Lokasi yang dipilih selanjutnya adalah Limau Jore-Jore1,beberapa informan local menyebut tempat kedua adalah di daerah Ngade, kemudian yang terakhir adalah di Limau Soki-Soki di atas ketinggian bukit Bukukaimaja di dekat sebuah sumber air yang bernama ake sentosa. Pemilihan tempat yang terakhir ini dirasa cocok dan dipastikan pembangunan kedaton secara definitive. Oleh karena itu, orang – orang yang menemukan lokasi ini mengirim kabar ke tempat atau lokasi yang pertama tadi dengan mengatakan fo waro ma diahi (lokasinya sudah tahu pasti). Kalimat ini kemudian secara turun temurun dibahasakan oleh masyarakat setempat dengan sebutan Foramadiahi.
Kini Foramadiahi masuk dalam kecamatan Pulau Ternate, didiami oleh sebagian kecil penduduk, bermata pencaharian umumnya petani. Untuk mencapai desa ini, diperlukan pengendara yang berpengalaman, karena akses jalan menuju desa ini sangat menanjak, semakin ke ujung desa, jalannya semakin menanjak. Di Desa ini juga terdapat makam Sultan Babullah, Sultan Ternate yang ke – 8, hidup pada tahun 1570 – 1583.
 

1.  Limau Jore-Jore merupakan nama sebuah Kampung besar yang meliputi soasio,Kasturian dan Salero sekarang. Kata Limau sendiri termasuk bahasa asli Ternate yang berarti negeri,kota atau kampung besar. Saat ini, kata Limau jarang digunakan, diganti dengan kata gam

Mengenal Desa Foramadiahi

Salah satu sudut perkampungan Foramadiahi,Foto oleh Ilwan
Desa Foramadiahi sudah mulai eksis sekitar tahun 1254. Foramadiahi disebut-sebut ahli sejarah sebagai perkampungan tertua di Ternate,keberadaan pemukiman ini ditandai dengan masuknya masyarakat yang berasal dari Jailolo yang melarikan diri dari kerajaan Jailolo ketika itu disebabkan oleh situasi politik lokal yang melibatkan sang Raja dengan rival kelompok-kelompok politik lokal. Mereka memilih mendiami daerah puncak jauh dari laut,agar tidak terjangkau oleh kejaran pasukan Raja Jailolo ketika itu. Pendapat lain mengatakan masyarakat yang mendiami perkampungan Foramadiahi berasal dari Tidore.
Menurut cerita dari beberapa orang tua,penamaan Foramadiahi bermula dari pembangunan kedaton (istana Raja). Kedaton pertama kali dibangun di perkampungan Foramadiahi,namun pembangunan kedaton belum definitive. Kedaton kemudian berpindah lokasi,mengingat desa Foramadiahi,berada di ketinggian dan tidak terdapat sumber air. Lokasi yang dipilih selanjutnya adalah Limau Jore-Jore1,beberapa informan local menyebut tempat kedua adalah di daerah Ngade, kemudian yang terakhir adalah di Limau Soki-Soki di atas ketinggian bukit Bukukaimaja di dekat sebuah sumber air yang bernama ake sentosa. Pemilihan tempat yang terakhir ini dirasa cocok dan dipastikan pembangunan kedaton secara definitive. Oleh karena itu, orang – orang yang menemukan lokasi ini mengirim kabar ke tempat atau lokasi yang pertama tadi dengan mengatakan fo waro ma diahi (lokasinya sudah tahu pasti). Kalimat ini kemudian secara turun temurun dibahasakan oleh masyarakat setempat dengan sebutan Foramadiahi.
Kini Foramadiahi masuk dalam kecamatan Pulau Ternate, didiami oleh sebagian kecil penduduk, bermata pencaharian umumnya petani. Untuk mencapai desa ini, diperlukan pengendara yang berpengalaman, karena akses jalan menuju desa ini sangat menanjak, semakin ke ujung desa, jalannya semakin menanjak. Di Desa ini juga terdapat makam Sultan Babullah, Sultan Ternate yang ke – 8, hidup pada tahun 1570 – 1583.
 

1.  Limau Jore-Jore merupakan nama sebuah Kampung besar yang meliputi soasio,Kasturian dan Salero sekarang. Kata Limau sendiri termasuk bahasa asli Ternate yang berarti negeri,kota atau kampung besar. Saat ini, kata Limau jarang digunakan, diganti dengan kata gam

Minggu, 02 Juni 2013

Benteng Kastela

Sisa reruntuhan Benteng Kastela,(Foto by : Ilwan)
Benteng Kastela atau dikenal dengan nama Benteng Gamlamo,atau dalam bahasa Portugis dinamakan Nostra del Rosario ini terletak di Desa Kastela, kecamatan Pulau Ternate. Benteng ini dibangun oleh Portugis pada tahun 1522 oleh Antonio de Brito. Pembangunan benteng ini dimulai dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun.Pembangunan bertahap dilakukan oleh Garcia Henriquez pada tahun 1525, kemudian Gonzalo Pereira pada tahun 1530, dan terakhir dilanujtkan oleh Jorge de Catro pada tahun 1540. Benteng ini pernah direbut oleh Sultan Babullah dan melakukan pengepungan selama 3 tahun,kemudian mengusir Portugis selama-lamanya dari bumi Ternate.Sultan Babullah kemudian mengambil alih benteng ini dan menjadikan sebagai pusat pemerintahan dan dipertahankan selama 30 tahun. Di benteng ini pula terjadi pembunuhan Sultan Khairun, ayah dari Sultan Babullah,yang dilakukan secara licik dan pengecut oleh Antonio pimental,saat sang Sultan menghadiri jamuan makan malam oleh pihak Portugis. Bentuk benteng ini persegi empat dengan luas 2.724 neter persegi,tersusun dari batu gunung dan batu kapur. Dengan luas seperti ini,maka benteng ini tercatat yang paling luas di Ternate, bahkan Maluku Utara, yang pernah dibangun penajajah asing. Bagian - bagian benteng yang masih dapat diidentifikasi adalah bastion dan menaranya saja, sisanya berupa reruntuhan. Konon disekeliling benteng ini dibangun parit, hanya saja parit tersebut sudah kering dan tidak terlihat lagi. Untuk mencapai benteng ini diperlukan waktu  kurang  lebih 30 menit dengan mengenderai kendaraan roda dua maupun empat.